BIOGRAFI TGKH.M.ZAINUDDIN ABD. MADJID

Assalamu'alaikum wr.wb.

numpang COPAS gan....

silahkan dibaca, semoga bermanfaat...

BIOGRAFI TGKH MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MAJID

A. Latar Belakang Keluarga TGKH Muhammad Zainuddi Abdul Majid

            Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddi Abdul Majid dilahirkan di Kampung Bermi Pancor Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ul Awal 1315 H, nama kecil beliau adalah Muhammad Syaggaf dan berganti nama menjadi Haji Muhammad Zainuddin setelah menunaikan setelah menunaikan ibadah haji. Yang mengganti nama beliau adalah ayah beliau sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Majid.  Mana itu diambil dari mana seorang ulama’ besar, guru di Masjidil Haram, yang akhlak dan kepribadiannya sangat menarik hati sang ayah, yaitu Syeikh Muhammad Zainuddin Serawak.[1]
            Penamaan Muhammad Saggaf memiliki cerita yang cukup unik. Tiga hari menjelang kelahirannya, ayahnya didatangi oleh dua orang wali yang berasal dari Hadlramaut dan Maghrabi. Kedua wali tersebut secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni Saqqaf. Keduanya berpesan kepada Tuan Guru Kyai Haji Abdul Majid, jika mempunyai anak, agar diberi nama Saqqaf, seperti nama mereka berdua.[2]
            Kata Saqqaf balam bahasa arab berarti mrmbuat atap atau mengatapi. Kata ini kemudian di Indonesiakan menjaddi Saggaf dan di karenakan berada di daerah Lombok Nusa Tenggar Barat yang masih kental dengan budaya daerahnya sehingga nama tersebut di dialekkan kedalam bahasa daerah yang biasa disebut bahasa sasak menjadi Segep, dan pada masa kecilnya pun beliau kerap dipanggil dengan panggilan Gep.
            Disamping  itu, terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang dibawa oleh seorang wali, bernama Syeikh Ahmad Rifa’I yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Majid menjelang kelahiran putranya. Syekh Ahmad Rifa’I berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Majid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama’ besar”.[3]
            Dengan adanya keunikan-keunikan yang terjadi menjelang kelahiran putranya yang kemudian dimamakan Muhammad Saggaf, Tuan Guru Haji Abdul Majid dan istrinya merasa senang dan gembira karena kelahiran puteranya disambut dan dinantikan oleh para ulama dan para wali-wali Allah.
            Beliau adalah anak bungsu yang lahir dari perkawinan antara Tuan Guru Haji Abdul Majid dengan seorang wanita shalihah yang berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, yang bernama Inaq Syam dan lebih dikenal dengan nama Hajjah Halimatus Sya’diyah. Beliau memiliki saudara kandung sebanyak lima orang, diantaranya yaitu: Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajjah Masyithah.
            Sejak kecil beliau terkenal sangat jujur dan cerdas. Kerena itu, tidak mengherankan kalau ayah bundanya memberikan perhatian khusus dan meumpahkan kecintaan serta kasih sayang demikian besar kepada beliau. Ketiaka beliau melawat ke tanah suci Makkah Al Mukarramah untuk melanjutkan studi, ayah bundanya ikut mengantar ke tannah suci. Ayahandanyalah yang mencarikan beliau guru, tempat beliau pertama kali belajar di Masjidil Haram, bahkan ibundanya, Hajjah Halimatus Sya’diyah ikut mukim di tanah suci mengasuh dan mendampingi beliau sampai ibundanya yang tercinta itu berpulang ke rahmatullah tiga setengah tahun kemudian dan dimakamkan di Mu’alla Makkah.[4]
            Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke tanah suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri sebagaimana  yang tertera pada paragfaf di atas dan sejak saat itu nama beliau berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
            Tentang silsilah keturunan beliau yang lengkap tidak dapat dikemukakan secara utuh dikarenakan dokumen dan catatan silsilah keturunan beliau ikut terbakar ketika rumah orang tua  beliau mengalami kebakaran. Namun yang jelas beliau terlahir dari keturunan keluarga yang terpandang dan garis keturunan terpandang pula yaitu keturunan Selaparang. Selaparang adalah nama Kerajaan Islam yang pernah berkuasa di Pulau Lombok.
Tuan Guru Kyai haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perembuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendapinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Disamping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa, ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajjah Baiq[5] Siti Zahriyah Makhtar, berasal dari desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, adalah: Satu, Chasanah; Dua, Hajjah Siti Fatmah; Tiga, Hajjah Raihan; Empat, Hajjah Siti Jauhariyah; Lima, Hajjah Siti Rahmatullah; Enam, Hajjah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; Tujuh, Hajjah Adniyah.[6]
            Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid Sulit sekali memperoleh keturunan, sehingga beliau pernah dianggap mandul padahal beliau sendiri sangat mengiginkan keturunan yang akan melanjutkan perjuangan beliau untuk mengembangkan dan menegakkan ajaran-ajaran Islam. Dan pada akhirnya beliau dianugrahkan dua orang anak dari istri yang berbeda yaitu:
  1. Hajjah Siti Rauhun daru Ummi Jauhariyah
  2. Hajjah Siti Raihanun dari Ummi Rahmatullah
Karena dengan hanya memiliki dua orang anak tersebut beliau kerap dipanggil dengan sebutan Abu Rauhun wa Raihanun.

B. Pendidikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid
            Perjalanan Tuan Giru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid dalam menuntut ilmu pengetahuan diawali dengan pendidikan yang di lakukan di dalam lingkungan keluarga, yakni dengan belajar mengaj yaitu membaca Al-Qur’an dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Majid. Pendidikan yang diberikan oleh ayahnya tersebut dimulai semenjak beliau berusia 5 tahun dan kemudian memasuki pendidikan formal semenjak berusia 9 tahun. Sekolah formal yang beliau mesuki adalah sekolah umu yang pada saat itu disebut dengan Sekolah Rakyat Negara (Sekolah Gubernemen) di Selong Lombok Timur. Di sekolah tersebut beliau belajar selama 4 tahun hingga tahun 1919 M.
              Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lelbih luas lagi pada beberapa kyai local saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Haji Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai local ini, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajari ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Syarf.[7]
            Pola pengajaran yang dilakukan oleh kyai-kyai lokal ini masih bersifat klasik. Yaitu masih menggunakan system halaqoh, yang dalam pembelajarannya murid-murid duduk bersila dan sang guru memberi pengajaran dengan membacakan kitab yang dipelajari kemudian para murid masing-masing mebacanya saling bergantian satu persatu..
Pada saat ini system pengajaran seperti ini sering digunakan pada pondok pesantren yang berbasis salafi. Berhubung pada saat itu sangat janrang ditemukan system pengajaran yang bersifat klasikal atau menggunakan kelas-kelas sehingga para murid duduk di atas bangku dan sang guru mengajarkan menggunakan papan tulis sebagai media pengajaran. Apalagi pada saat itu berbeda dengan zaman yang dialami saat ini, yaitu pada saat itu apabila seorang murid ingin mempelajari suatu ilmu apalagi ilmu agama mesti ke rumah sang guru untuk meminta kepada guru tersebut untuk mengajarinya tentang ilmu pengetahuan yang ia miliki. Namun pada saat ini sangatlah berbeda apabila seorang murid ingin menuntut ilmu, meka hanya tinggal meminta pada orang tuannya untuk memasukkannya pada pondok pesantren dan kemudian mendalami tentang ilmu agama dan berbagai macamnya didalamnya.
Selanjutnya Muhammad Noor dan kawan-kawan dalam buku Visi Kebangsaan Relijius lebih jauh mengungkapkan bahwa Bagi Tuan Guru Haji Syarafuddin, Muhammad Saggaf merupakan murid yang istimewa. Keistimewaan tersebut mendorong gurunya untuk membebaskannya dari membanntu gurunya bekerja di sawah. Pada saat itu murid-murid yang mengaji di rumah seorang tuan guru tidak dipungut bayaran. Sebagai gantinya, mereka dihariskan berkerja disawah tuan guru tersebut. Berbeda dengan Muhammad Saggaf, karena keinginan kuat ayahnya agar ia menjadi murid yang pandai, ayahnya sanggup dengan membayar dengan 200 ikat padi setahun (sekitar 2 ton padi/gabah), sebagai ganti kewajiban bekerja disawah. Maksud ayahnya dengan kesediaan ini adalah agar anaknya tidak terganggu aktivitas belajarnya, sehingga ia berkonsentrasi pada pelajarannya.
Menjelang musim haji pada saat itu sekitar tahun 1923 M, Muhammad Saggaf yang pada saat itu tengah berusia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melanjutkan studinya, memperdalam berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan islam dengan di antar langsung oleh kedua orang tuanya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Fishal, H. Ahmad Rifa’I, dan seorang kemenakannya. Bahkan pada saat itu salah seorang gurunya ikut serta dalam rombangan itu, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya. Beliau belajar di Tanah Suci Makkah selama 12 tahu.
Di kota suci Makkah Al-Mukarramah beliau mula-mula belajar di masjidil Haram, ayahnya pun sangat selektif dalam mencarikan dan menentukan seorang guru yang akan mengajar dan mendidik putra kesayangannya itu. Ayahandanya meyakini bahwa seorang guru adalah sumber ilmu dan kebenaran serta menjadi contoh dan panutan bagi muridnya dalam segala aspek kehidupan baik dalam pola berfikir dan berperilaku, sehingga ilmu dan didikan yang diperoleh sang murid berguna dan bermanfaat bagi kehidupan baik di dunia dan di akhirat.
Berhari-hari bahkan berbulan-bulan ayahnya sibuk mencarikannya seorang guru yang tepat dan cocok untuk mengajari dan mendidik anaknya. Kemudian bertemulah ayahnya dengan seorang syeikh yang belakangan dikenal dengan Syeikh Marzuki. Dari cara dan metode yang digunakan dalam mengajat Tuan Guru Haji Abdul Majid merasa cocok jika syeikh tersebut menjadi guru bagi anaknya.
Syaikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram. Ia fasih berbahasa Indonesia dan Arab. Kebanyakan muridnya berasal dari Indonesia. Ada yang berasal dari Palembang, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur maupun Lombok. Salah seorang murid Syeik Marzuki yang berasal dari Lombok bernama H. Abdul Kadir dari desa Mamben Lombok Timur. H. Abdul Kadir sudah setahun lebih belajar di Makkah pada waktu itu.[8]
Namun pada akhirnya Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, merasakan ke tidak cocokan terhadap Syeikh Marzuki karena merasa tidak banyak mengalami perkembangan yang berarti dalam menuntut ilmu. Karena pada saat itu sang guru mengajarkan kitab gundul yang tidak memiliki baris sedangkan beliau masih murid baru dan dapat dikatakan masih awam dalam mempelajari kitab-kitab gundul yang tidak memiliki baris tersebut, sehigga beliau berfikiran ingin memulai pelajarannya dari awal agar mampu membaca dan memahami makna yang terkandung dalam kitab gundul tersebut. Setelah ayahnya pulang ke Lombok beliau langsung berhenti  balajar mengaji pada Syeikh Marzuki.
Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Makkah karena perang ssaudara antara faksi Wahabi dengan kekuasaan Syarif Hussein, stabilitas keamanan relative terkendali. Pada saat itu Muhammad Zainuddin berkenalan dengan seorang yang bernama Haji Mawardi yang berasal dari Jakarta. Dari perkenalan itu beliau diajak untuk ikut belajar di sebuah madrasah legendaries di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah yang pada saat itu di pimpin oleh Syeikh Salim Rahmatullah putra Syeikh Rahmatullah, pendiri Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudy Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah banyak mencetak ulama’-ulama’ besar dunia. Di Madrasah al-Shaulatiyah inilah beliau belajar berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam dengan sangat rajin dan tekun di bawah bimbingan ulama’-ulama’ terkemuka kota Suci Makkah waktu itu.
 Pada hari pertama beliau masuk di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah beliau bertemu dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bertemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajar syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Sudah menjadi tradisi di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah bahwa setiap murid baru yang masuk harus mengikuti tes untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok untuk murid baru tersebut. Demikian juga halnya dengan Muhammad Zainuddin, beliau juga diuji terlehih dahulu. Dan secara kebetulan beliau diuji langsung oleh murid al-Shaulatiyah sendiri yaitu Syeikh Salim Rahmatullah bersama dengan Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath.
Dan pada akhirnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath menentukan masuk di kelas III. Padahal beliau belum terlalu menguasai ilmu nahwu-syaraf yang diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, kemudian beliau meminta untuk diperkenankan masuk di kelas II, dengan alasan iingin mendalami mata pelajjaran nahwu-sharaf. Walaupun pada awalnya Syeikh Hasan Muhammad al-Masyath bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi yang dikemukakan oleh Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian Syeh Hasan pun mengabulkan permohonannya, dan resmilah beliau diterima di kelas II.
Di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah Muhammad Zainuddin mulai tekun belajar. Ia ingin membuktikan kemampuannya menguasai ilmu dengan baik. Di malam dan sore hari beliau belajar kepada beberapa guru yang lain. Dirumah juga beliau manghabiskan waktunya untuk belajar. Salah satu bentuk ketekunannya dalam belajar adalah besarnya porsi waktu yang disediakan untuk membaca kitab-kitab mulai dari setelah shalat tahajjud sampai waktu shalat subuh tiba. Pernah suatu ketika beliau tertidur pada saat membaca kitab. Padahal di hadapannya terdapat sebuah lampu minyak sebagai alat penerang beliau dalam membaca. Tanpa beliau sadari surban beliau terlalap api dari lampu minyat tersebut dan terbakar. Mencium bau benda terbakar ibunya pun terbangun. Sementra beliau masih tertidur dengan lelapnaya, kemudian ibunya pun berteriak membangunkannya. Beliaupun terkejut dan terbangun.
Kebiasaan beliau membaca dan belajar dalam kaktu yang cukup lama menyebabkan mata beliau mengalami gangguan. Meskipun demikian beliau masih tetap mampu mempertahankan kebiasaan membaca dan belajarnya tersebut sampai waktu yang cukup lama.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui bahwa beliau tergolong murid yang cerdas. Syeikh Salim Rahmatullah sebagai kepala Madrasah al-Shaulatiyah selalu mempercayakan beliau untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang sering kali datang ke madrasah itu. Penilik madrasah itu meenganut faham Wahabi. Dan beliaulah satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pertanyaan penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hokum ziarah kubur, tawasul kepada anbiya’ dan auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan beliau selalu berhasil menjawab pertanyaan penilik itu dengan memuaskan.
  Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal waktu belajar normal adalah 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII,VIII dan IX.[9]

C. Guru-Guru Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
a). Guru yang Mengajarkan Al-Qur’an dan Kitab Melayu di Lombok
  1. T.G.H. Abdul Majid;
  2. T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur;
  3. T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur;
b). Guru di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah
  1. Maulana Wa Murabbina Abu Barakat al-‘Allamah al-Ushuli al-Mudadditsbal-Shufi al-Syeikh Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki;
  2. Al-‘Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’I;
  3. Al-‘Allamah al-Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani al-Syafi’I;
  4. Al-‘Allamah al-Kabir Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
  5. Al-‘Allamah al-Syeikh Marzuqi al-Palimbani;
  6. Al-‘Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Falimbani;
  7. Al-‘Allamah al-Syeikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
  8. Al-‘Allamah al-Syeikh Abdul Qadir al-Mandili al-Syafi’i;
  9. Al-‘Allamah al-Syeikh Muhtar Betawi al-Syafi’i;
  10. Al-‘Allamah al-Syeikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
  11. Al-‘Allamah al-Muhadditsin al-Kabir al-Syeikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12.  Al-‘Allamah al-Muhadditsin al-Syaikh Abdus Sattar al-Syiddiqi Abdul Wahab al-Kutbi al-Maliki;
  1. Al-‘Allamah al-Kabir al-Syeikh Abdul Qodir al-Syibli al-Hanafi;
  2. Al-‘Allamah al-Adib al-Syeikh Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi;
  3. Al-‘Allamah al-Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i;
  4. Al-‘Allamah al-Falaqi Maulana al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
  5. Al-‘Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
  6. Al-‘Allamah al-Syeikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
  7. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al Hanafi;
  8. Al-‘Allamah al-Syeikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
  9. Al-‘Allamah al-Syeikh Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Shadaqi al-Syafi’i;
  10. Al-‘Allamah Mu’arrikh al-Syeikh Salim Rahmatullah al-Maliki;
  11. Al-‘Allamah al-Syeikh Abdul Gani al-Maliki;
  12. Al-‘Allamah al-Syeikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jazairi al-Maliki;
  13. Al-‘Allamah al-Syeikh Umar al-Faruq al-Maliki;
  14. Al-‘Allamah al-Syeikh al-Wa’id al-Syaikh Abdullah al-Faris;
  15. Al-‘Allamah al-Syeikh Malla Musa;[10]
Jika di klasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
  1. 11 orang bermazhab Syafi’;
  2. 6 orang bermazhab Hanafi; dan
  3. 11 orang bermazhab Maliki.[11]
Merdasarkan kategorisasi mazhab diatas terlihat jelas bahwa semua guru-guru beliau masih berada dalam satu landasan teologis yang sama, yakni faham Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah.[12] Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorang pun gurunya yang menganut faham teologis yang berbeda, seperti Mu’tazillah, Syi’ah ataupun Wahabi.

D. Karya-Karya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
            Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, selain tergolong ulama yang berbobot dalam bidang keilmuan, beliau juga termasuk penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuannya tersebut tumbuh dan berkembang semenjak beliau belajar di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah. Akan tetapi karena kepadatan dan banyaknya acara kegiatan keagamaan dalam masyarakat yang harus di isai oleh beliau, sehingga peluang dan kesempatan beliau untuk mengarang dan memperbanyak tulisannya hampir tidak pernah ada.
Itulah sebabnya pada beberapa kesempatan beliau mengungkapkan keadaan seperti ini kepada muridnya, bila mana beliau teringat pada kawan seperjuangan di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah yang juga telah tergolong ulama’ besar dan pengarang terkenal seperti Maulana Syeikh Zakaria Abdullah Bila, Maulana Syeikh Yasin Padang dan lain-lain. Mereka sekarang ini memiliki karya-karya besar dalam bidang tulis menulis dan karang-mengkarang.
Dalam hal ini TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid tidak pernah berkecil hati, walaupun kawan seperguruannya menonjol dalam bidang tersebut. Beliau menyadari akan hal ini, karena situasi dan kondisi kehidupan ummat dan masyarakat yang dihadapi sangat jauh berbeda, yaitu masyarakat Makkah di satu pihak dan masyarakat Indonesia di lain pihak. Beliau pernah mengatakan “Seandainya aku mempunyai waktu dan kesempatan yang cukup untuk menulis dan mengarang, niscaya aku akan mampu menghasilkan karangan dan tulisan-tulisan yang lebih banyak, seperti yang dimiliki Syeikh Zakaria Abdullah Bila, Syeikh Yasin Padang, Syeikh Ismail dan ulama’-ulama lain tamatan Madrasah al-Shaulatiyah Makkah”.[13]
Dikarenakan sebagian besar dan seluruh waktu dan kehidupan beliau di manfaatkan dan dipergunakan untuk mengajar dan terus mengajar dan berdakwah keliling untuk membina umat dalam upaya menanamkan Iman dan Taqwa, sehingga dengan kegiatannya yang padat dan terus berkesinambungan sehingga membuat beliau tidak memiliki cukup banyak waktu untuk menulis dan mengarang. Dan bahkan beliau tidak pernah putus semangat untuk menghabiskan waktunya berjuang demi kepentingan umat, sebagaimana ucapan dan ikrar beliau sendiri “Aku wakafkan diriku untuk ummat”.
Sekalipun dalam keadaan yang sangat sibuk seperti itu, beliau masih menyempatkan dirinya untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya tersebut. Bagi beliau mengarang dan tulis menulis bukanlah suatu tugas dan pekerjaan yang sulit, karena hal ini merupakan kemampuan dasar yang di anugrahkan Allah SWT kepada beliau, bakat dan kemampuannya inilah yang terus dibawa sehingga tumbuh dan berkembang semenjak beliau bersekolah di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah, sehingga tidak mengherankan apabila beliau  mendapatkan banyak pujian dari  guru-guru beliau.
Diantara karya tulis dan karangan-karangan beliau adalah:[14]
a). Dalam Bahasa Arab
1).          Risalah Tauhid dalam bentuk soal jawab (Ilmu Tauhid)
2).          Sullamul Hija Syarah Safinatun Naja (Ilmu Fiqh)
3).          Nahdlatul Zainiyah dalam bentuk nadzam (Ilmu Faraidl)
4).          At Tuhfatul Ampenaniyah Syarah Nahdlatuz Zainiyah (Ilmu Faraidl)
5).          Al Fawakihul Ampenaniyah dalam bentuk soal jawab (Ilmu Faraidl)
6).          Mi’rajush Shiibyan Ila Sama’i Ilmi Bayan (Ilmu Balaghah)
7).          An Nafahat ‘Alat Taqriratis Saniyah (Ilmu Mushtalah Hadits)
8).          Nailul Anfal (Ilmu Tajwid)
9).          Nizib Nahdlatul Wathan (Da’a dan Wirid)
10).      Hizib Nahdlatul Banat (Do’a dan Wirid kaum wanita)
11).      Shalawat Nahdlatain (Shalawat Iftitah dan Khatimah)
12).      Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
13).      Ikhtisar Hizib Nahdlatul Wathan (Wirid Harian)
14).      Shalawat Nahdlatul Wathan (Shalawat Iftita)
15).      Shalawat Miftahi Babi Rahmatillah (Wirid dan Do’a)
16).      Shalawat Mab’utsi Rahmatan Lil ‘Alamin (Wirid dan Do’a)
17).      Dan lain-lainnya.
b). Dalam Bahasa Indonesia dan Sasak
1).    Batu Nompal (Ilmu Tajwid)
2).    Anak Nunggal Taqrirat Batu Ngompal (Ilmu Tajwid)
3).    Wasiat Renungan Masa I dan II (Nasihat dan petunjuk perjuangan untuk warga Nahdlatul wathan)
c). Nasyid/Lahu Perjuangan dan Dakwah dalam Bahasa Arab, Indonesia dan Sasak
1).          Ta’sis NWDI (Anti ya Pancor biladi)
2).          Imamunasy Syafi’i
3).          Ya Fata Sasak
4).          Ahlan bi wafdizzairin
5).          Tanawwarr
6).          Mars Nahdlatul Wathani
7).          Bersatulah Haluan
8).          Nahdlatain
9).          Pau gama’
10).      Dan lain-lain.



[1] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal Terjemah  Tuhfatul Atfal, (Jakarta: Nahdlatul Wathan Jakarta, 1996), hal. 9.
[2] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan Religius Refleksi Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid 1904-1997, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 2004), Cet, Ke-1, hal. 122.
[3] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 123.
[4] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal. 9-10.
[5] Baiq adalah gelar kebangsawanan bagi perempuan yang secara stratifikasi social masyarakat Lombok berada satu tingkat di atas masyarakat umum, dan dua tingkat di bawah strata tertinggi, yakni Datu Bini dan Denda. Biasanya gelar Baiq ditujukan kepada mereka yang belum menikah. Setelah menikah gelar tersebut berubah menjadi Mamiq Bini.
[6] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 125.
[7] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 134.
[8] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 136.
[9] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 142.
[10] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 144-145.
[11] Muhammad Noor, dkk, Visi Kebangsaan…, hal. 147.
[12] Ahl al-Sunnah Wa al-Jama’ah adalah faham teologis yang menekankan harmonitas antar dua variable, yaitu rasionalitas Mu’tazillah dan predetermenisme Jabariah. Faham ini secara teologis mengacu pada pemikiran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Faham ini kemudian memasuki wilayah fiqh yang dapat di temukan pada pemikiran Imam Mazahib al-Arba’ah, dan pada wilayah tasawuf dapat dilihat pada pemikiran sufistik Abu Hamid al-Gozali.
[13] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal. 15.
[14] TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid, Nadzam Batu Ngompal…, hal. 16-17.
BIOGRAFI TGKH.M.ZAINUDDIN ABD. MADJID BIOGRAFI TGKH.M.ZAINUDDIN ABD. MADJID Reviewed by Azmy on 17.58 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.